SALAH TANGKAP

Keberhasilan Polri mengungkap kasus pembunuhan berantai yang dilakukan oleh Ryan sangat membanggakan kita, tapi di balik kebanggaan tersebut terkuak juga suatu kesalahan fatal yang dilakukan oleh institusi ini, yaitu kasus salah tangkap yang dilakukan oleh aparat Polri dijajaranya khususnya Polres Jombang.
Pengakuan Ryan membunuh Asrori dan mayatnya ditemukan dibelakang rumahnya membuka mata masyarakat bahwa Asrori yang dinyatakan selama ini sebagai mayat yang ditemukan di kebun tebuh dan dibunuh oleh tiga tersangka yang telah ditetapkan oleh Polisi dan sebagian telah di jatuhi vonis penjara ternyata salah. Ryanlah yang membunuh Asrori dan dipertegas dengan hasil test DNA yang dilakukan oleh Polri terhadap mayat yang ditemukan di belakang rumah Ryan. Lalu siapakah mayat yang dikebun tebuh yang diyakini Polisi selama ini adalah Asrori. Dan apakah ketiga pelaku yang selama ini ditetapkan Polisi sebagai pembunuh Asrori benar tidak melakukan pembunuhan atau apakah memang benar ketiga pelaku ini memang membunuh cuman Polisi saja yang salah menetapkan korban yang dibunuh.
Jika kita mendengar pengakuan para tersangka yang telah di vonis dalam kasus “mayat dikebun tebuh” mereka terpaksa mengakui perbuatan yang dituduhkan karena sudah tidak tahan lagi disiksa oleh Polisi khusunya para penyidik dan penyelidik kasus tersebut. Sundutan api rokok, pukulan dengan benda tumpul dan ancaman ditembak membuat mereka mengakui semua perbuatan yang dituduhkan. Belum lagi jika kita mendengar pengakuan keluarga tersangka yang merasa tidak yakin kalau anggota keluarga mereka terlibat pembunuhan. Banyak alibi yang mereka lontarkan untuk membela keluarga mereka namun tidak digubris sedikitpun oleh Polisi. Polisi hanya berpatokan pada pengakuan tersangka saja tidak didukung dengan bukti-bukti lainnya.
Perlu untuk kita pelajari bersama bahwa bagaimana awal mula sehingga Polisi khususnya penyidik Polres Jombang menetapkan ketiga tersangka sebagai pelaku pembunuhan. Alasan apa yang digunakan Polisi waktu itu sehingga berani menetapkan ketiga pelaku tersebut adalah pembunuh “mayat dikebun tebuh”. Dan jika hanya berdasarkan pengakuan tersangka saja dan dengan “bimbingan” penyidik mereka akhirnya ditetapkan sebagai tersangka tanpa menggunakan alat-alat bukti lainnya sangatlah fatal kesalahan yang dibuat oleh penyidik.
Didalam Kuhap pada pasal 184 memang pengakuan tersangka dapat dijadikan salah satu alat bukti. Namun pengakuan tersangka ini tidak bisa serta merta dijadikan dasar atau alasan untuk menetapkan seseorang sebagai tersangka. Perlu ada alat bukti lainnya. Baik itu keterangan saksi, bukti petunjuk, surat ataupun ahli. Dan untuk menuju ke alat bukti lainnya tidak bisa hanya berdasarkan keterangan tersangka saja, namun fakta yang adalah yang berbicara bahwa benar pengakuan tersangka tersebut adalah benar. Contoh saja pisau yang digunakan membunuh korban, jika pelaku menunjuk salah satu pisau maka pisau ini harus dibuktikan bahwa benar pisau inilah yang digunakan sebagai alat menusuk korban, misalnya ada bekas darah korban dipisau tersebut. Jadi tidak bisa langsung dijadikan barang bukti hanya berdasarkan keterangan tersangka saja. Hal seperti ini sebenarnya sepele namun hal kecil ini dapat meyakinkan setiap penyidik bahwa keterangan yang disampaikan oleh tersangka memang benar adanya.
Sampai dengan saat ini sebagian besar gejala yang terjadi dilapangan khususnya anggota Polri yang bergelut dibidang reserse adalah sangat terpaku dengan pengakuan tersangka. Ada adegium yang sering kita dengar bahwa “ kalo bisa dipermudah kenapa harus dipersulit”. Adegium inilah yang sangat melekat dikarakter para penyidik-penyidik kita. Banyak alasan yang dilontarkan kenapa mereka berbuat demikian. Salah satu yang paling sering terdengar alasan adalah beban kerja yang berat tidak sebanding dengan penghargaan yang didapat. Menelusuri kebenaran alat yang digunakan untuk membunuh korban dianggap membuang waktu saja, pengakuan tersangka dirasa sudah cukup untuk menetapkan alat tersebut sebagai barang bukti. Padahal penyidik professional tidaklah mudah mempercayai saja pengakuan tersangka. Sehingga timbullah penafsiran yang salah dalam asas hukum pidana praduga tak bersalah. Orang yang sudah ditangkap polisi sudah divonis sebagai pelaku kejahatan, padahal vonis tersebut nanti dijatuhkan pada saat sidang di pengadilan. Tugas Polisi seharusnya tetap mendudukan yang bersangkutan tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan tapi polisi wajib mengumpulkan fakta-fakta yang ada agar pelaku yang diduga keras sebagai tersangka benar adanya. Alat-alat bukti yang ditemukan polisi dan diramu dalam berkas perkaralah yang berbicara nantinya dipengadilan dengan melalui pihak jaksa sebagai penuntutnya.
Dan sekarang bola panas terus berputar, siapa yang patut dipersalahkan jika tersangka selama ini yang ditetapkan sebagai pelaku pembunuhan bukan merupakan pelaku sebenarnya. Polisi, jaksa atau hakim. Kita tunggu saja hasil kerja para internal security dimasing-masing institusi karena mereka semua merupakan suatu kesatuan yang mempunyai kewenangan untuk saling mengontrol dan berkoordinasi seperti yang kita kenala dalam istilah Criminal Justice System.
Dan semoga saja kasus Asrori menjadi kesalahan yang terakhir bagi pihak Kepolisian dalam melakukan penyidikan setiap kasus yang terjadi karena jika sampai berulang kepercayaan masyarakat terhadap Polri sebagai satu-satunya lembaga yang diberi kewenagan dalam menyidik kasus-kasus konvensional dapt semakin luntur dan berkurang, dan bukan tidak mungkin hukum rimba bisa terjadi. Wallahualam

Komentar

Postingan populer dari blog ini

8 TAHUN

KOPRAL-SERSAN-MAYOR-LETNAN