KEKERASAN DAN INTEROGASI

I. PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kekerasan dan interogasi adalah dua kata yang pada prakteknya sangat susah di pisahkan dalam dunia intelijen atau yang lebih khususnya lagi didunia kepolisian dan lebih terfokus lagi kemasalah proses penyidikan. Dalam dunia intelijen istilah interogasi di gunakan untuk mendapatkan bahan-bahan keterangan yang di butuhkan dengan cara tanya jawab secara lisan atau pemeriksaan terhadap seseorang melalui pertanyaan lisan yang bersistem (Kamus Besar Bahasa Indonesia/2005). Proses Tanya jawab tersebut sering sekali di bumbui dengan tindakan kekerasan dengan alasan yang berbagai macam, sementara dalam dunia kepolisian atau yang lebih fokus lagi ke proses penyidikan bahwa interogasi biasanya di gunakan sebelum meningkat ke proses pemeriksaan secara tertulis (berita acara pemeriksaan). Metodenya pun mirip atau sama, yaitu dengan cara tanya jawab secara lisan dan juga kadang menggunakan kekerasan.

kekerasan sendiri mengandung makna perbuatan seseorang atau kelompok yang menyebabkan cedera atau matinya orang lain atau menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang lain dan dapat juga bermakna paksaan (Kamus Besar Bahasa Indonesia/2005). Sementara didalam KUHP dijelaskan pada penjelasan pasal 89 bahwa kekerasan artinya mempergunakan tenaga atau kekuatan jasmani tidak kecil secara yang tidak sah, misalnya memukul dengan tangan atau dengan segala macam senjata, menyepak, menendang dan disamakan juga membuat orang pingsan atau tidak berdaya. Jadi, kalau kekerasan dalam interogasi merupakan serangkaian tindakan yang di lakukan seseorang atau kelompok untuk pemeriksaan terhadap seseorang melalui petanyaan lisan dengan menggunakan cara-cara atau tindakan kekerasan.

Kenapa dua kata diatas sangat susah di pisahkan karena pada pelaksanaannya hal tersebut sangat sering sekali di lakukan oleh pihak-pihak pelaksana seperti dinas intelijen, kepolisian, tentara dan lain sebagainya. Negara besar seperti Amerika saja yang menjadi kampium HAM dan perjuangan demokrasi di seluruh dunia masih menggunakan cara tersebut. Tersebarnya dokumen rahasia CIA ke pers berupa draf Undang-undang pelembagaan, institusionalisasi, kekerasan terhadap tahanan membuktikan bahwa kekerasan masih di butuhkan dalam mengorek informasi. Alasan yang di sampaikan berawal dari keluhan para komandan lapangan di Guantanamo tentang kesulitan mendapatkan informasi dari para tahanan jika hanya menggunakan metode konvensional. Penggunaan kekerasan seperti penganiayaan dianggap lebih efektif untuk memperoleh informasi dari para tahanan(http://www.unisosdem.org/article_detail.).

Dan kemudian di jadikan dasar sebagai dalih demi keamanan nasional dan perang melawan teroris. Kerangka hukum yang disahkan Rumsfeld tanggal 16 April 2003 itu dianggap tidak melanggar hukum internasional meski mengizinkan penggunaan-penggunaan tindakan kekerasan dalam metode interogasi tahanan (http://www.unisosdem.org/article_detail).

Di tambah dengan berbagai pengakuan yang di sampaikan para mantan tahanan dari Guantanamo dan penjara Abu Ghraib di Irak semakin menegaskan bahwa cara-cara penggunaan kekerasan masih digunakan dalam menginterogasi seseorang untuk mendapatkan keterangan-keterangan pada zaman ini. Konon lagi di Negara kita yang masih menggunakan sistem hukum yang menganut sebagian mazzab anglo saxon dan eropa continental, Pengakuan tersangka masih menjadi salah satu alat bukti yang sah di pengadilan sehingga secara tidak langsung ada dorongan yang timbul untuk mengejar pengakuan tersebut. Dan sampai sekarang teknik yang di yakini sangat ampuh mengorek keterangan oleh para penyidik adalah interogasi dengan kekerasan di samping alasan-alasan lainnya.

Permasalahan

Dengan melihat latar belakang yang diuraikan mulai dari pemahaman dan pengertian tentang kekerasan dan interogasi sampai dengan aplikasi maka penulis menguraikan dalam sub-sub permasalahan apa yang menjadi alasan sehingga didalam interogasi masih menggunakan cara-cara kekerasan. Adapun permasalah tersebut sebagai berikut :

- Tehnik-tehnik kekerasan yang digunakan dalam interogasi

- Alasan pembenar penggunaan kekerasan dalam interogasi

- Faktor-faktor pendukung kekerasan dalam interogasi

Keempat sub permasalahan diatas akan di jelaskan selengkap mungkin pada sub-sub pembahasan, dan diakhir tulisan akan di sampaikan jawaban alasan kenapa/ mengapa kekerasan perlu di terapkan dalam proses interogasi sesuai dengan tugas ujian mata kuliah psykologi forensik.

II. PEMBAHASAN

- Tehnik-tehnik Kekerasan dalam Interogasi

Pada umumnya kekerasan yang di gunakan integrator untuk menginterogasi seseorang tidak serta merta dilakukan secara langsung. Ada tahap-tahap yang di lalui sebelum memulai penggunaan kekerasan tersebut. Biasanya jika integrator menanyakan sesuai dengan apa yang diinginkan dan di jawab sesuai dengan keinginan integrator maka kekerasan masih bisa di hindari. Namun begitu ada beberapa hal yang di tanyakan oleh integrator dan tidak dapat di jawab oleh si penjawab sementara integrator meyakini bahwa sipenjawab tahu namun tidak mau memberitahu maka mulailah kekerasan di gunakan. Diawali dengan kejutan-kejutan berupa tindakan pisik secara halus seperti penekanan psikis atau ada juga yang langsung dengan menggunakan kekerasan. Semua tergantung dari situasi pada saat itu. Sebuah eksperimen psikologi klasik menunjukkan bagaimana situasi mampu memunculkan atau melahirkan tindakan kekerasan (Haney et al. 1973) http://www.kompascetak.com/kompas-cetak.

Menginterogasi para tahanan adalah praktek kelembagaan. Interogasi digunakan untuk mendapatkan informasi tentang aktivitas sang korban, untuk menghukum atau mengintimidasi sang korban atau untuk mendapatkan informasi tentang struktur danstrategi perlawanan, lokasi-lokasi penyimpanan senjata atau dokumen atau nama-namapara anggota Perlawanan lainnya.(Xanana Gusmão, “The Coup and Civil War, 10 August 1975” dalam Xanana Gusmão, Timor Leste: UmPovo, Uma Patria, Lisbon, Editora Colibri, 1994).

Dan agar lebih jelasnya dibawah ini adalah contoh-contoh kekerasan yang sering di gunakan oleh integrator seperti polisi, tentara, agen intelijen dan lain-lain, yaitu :

1 Memukul dengan kepalan tangan atau dengan alat-alat seperti tongkat kayu atau dahan pohon, besi batangan, popor senapan, rantai, martil, ikat pinggang, kabel listrik

2 Menendang, biasanya sambil memakai sepatu bot militer atau polisi, termasuk di sekitarkepala dan muka

3 Menonjok dan menampar

4 Mencambuk

5 Memotong dengan pisau

6 Mengiris dengan silet

7 Meletakkan jari kaki seseorang di bawah kaki kursi atau meja lalu satu atau lebih orang duduk di atasnya

8 Membakar bagian tubuh korban dengan rokok yang menyala atau sebuah korek gas, termasuk alat kelamin korban

9 Menyetrum bagian-bagian tubuh korban, termasuk alat kelamin si korban

10 Mengikat dengan erat-erat tangan dan kaki seseorang atau mengikat korban dan menggantungnya di sebuah pohon atau atap

11 Menggunakan air dengan berbagai cara, termasuk menahan kepala seseorang di dalam air; merendam korban di dalam bak air untuk periode yang lama, kadang sampai tiga hari; membasahi dan melunakkan kulit korban dalam air sebelum memukulinya;

12 memasukkan korban dalam drum berisi air dan menggelindingkannya; mengguyur korban dengan air yang sangat panas atau sangat dingin; mengguyur korban dengan air yang sangat kotor atau air comberan

13 Pelecehan seksual, penyiksaan dan perlakuan buruk dalam bentuk seksual atau pemerkosaan saat dalam penahanan. Para perempuan adalah korban utama dalam bentuk pelecehan ini

14 Memotong telinga korban untuk menandai korban

15 Mengikat korban di belakang sebuah mobil dan memaksanya untuk berlari dibelakangnya atau terseret di tanah

16 Meletakkan biawak (lafaek rai maran) dengan gigi dan cakar yang tajam bersama korban dalam tanki air dan menyebabkan biawak tersebut menggigit bagian-bagian yang lembek dari tubuh korban termasuk kelamin korban

17 Mencabut kuku jari tangan dan kaki menggunakan tang

18 Melindas korban dengan sepeda motor

19 Memaksa korban untuk meminum air kencing seorang prajurit atau memakan barang-barang yang bukan untuk dimakan seperti kadal kecil yang hidup atau sepasang kaos kaki.

20 Membiarkan korban di bawah terik matahari untuk periode lama

21 Mempermalukan para tahanan di depan lingkungannya, sebagai contoh, memaksa mereka berdiri atau berjalan sekeliling kota dalam keadaan telanjang

22 Mengancam mati korban atau keluarga korban atau melukai seorang anggota keluarga korban di depan si korban

(Komite HAM, Komentar Umum No.21, paragraf 3)

Praktek- praktek kekerasan diatas adalah contoh dari praktek yang sering di gunakan dalam menginterogasi seseorang. Sungguh sangat tidak berprikemanusiaan. namun ternyata hal tersebut memang benar adanya. Pelaku atau integrator sendiri tidak mau mengalami seperti itu. Tehnik kekerasan dalam interogasi yang paling efektif atau yang lagi popular sekarang di Amerika adalah tehnik waterboarding. Teknik kontroversial ini dikenakan kepada tahanan dengan cara diikat tangannya dan wajah, termasuk mulutnya, ditutup, kemudian mukanya diperciki air. Akibatnya, si tahanan akan merasa seolah-olah akan tenggelam. Lewat teknik ini,si tahanan diharapkan mengakui perbuatannya. Direktur Intelijen Nasional Amerika Serikat (AS) Mike McConnell mengatakan, dirinya akan sangat tersiksa seandainya teknik interogasi water boarding digunakan kepadanya. (http://www.seputar-indonesia.com)

- Alasan Pembenar Penggunaan Kekerasan Dalam Interogasi

Pengguanan kekerasan dalam interogasi sebenarnya bukan hal yang baru sejak jaman dahulu tehnik atau cara ini sudah di gunakan oleh manusia sejak dahulu kala. Bisa kita bayangkan jika seorang pelaku perampokan yang ketangkap tetapi tidak mau menunjukan dimana uang hasil rampokannya di simpan, sementara waktu di tangkap saja si pelaku melawan dan melukai petugas. Jhering pernah menulis bahwa "law without force is an empty name". Jadi aplikasi hukum lazimnya dengan menggunakan kekerasan. Tetapi kekerasan yang bagaimana? Orang lalu sampai pada suatu kesimpulan : apakah mungkin "penanggulangan kekerasan yang lazimnya dikualifikasi sebagai kejahatan, apakah mungkin dilakukan tanpa kekerasan"(http://www.komisihukum.go.id). Sama halnya dengan kekerasan dalam interogasi apakah mungkin di lakukan dengan cara-cara halus sementara yang di interogasi tidak menunjukkan perilaku yang bersahabat atau justru malah bungkam seribu bahasa sementara sebagian fakta sudah terbukti di lakukan tinggal mencari atau mengembangkan lagi hal yang lainnya. Dalam dunia kepolisian sendiri setiap orang yang diinterogasi adalah tindakan yang di lakukan sebelum melangkah ke proses pemeriksaan secara tertulis dan kadang juga berbarengan.

Ada sebuah adegium dalam masyarakat sosial yang menyatakan bahwa “jika ada jalan mudah melakukannya kenapa harus mencari jalan yang rumit/susah”. Mungkin berangkat dari pemahama ini sehingga seorang intergrator dapat dengan mudah saja mengejar pengakuan-pengakuan yang diinterogasi apalagi jika pengakuan tersebut merupakan salah satu alat bukti yang sah dan didukung oleh Undang-undang atau peraturan resmi dari penguasa. Dan jika orang yang diinterogasi tidak memberikan informasi yang diinginkan oleh integrator maka cara kekerasan adalah cara yan paling mudah di lakukan. Herman Bianchi (1980) menulis "Maar naar de theorie van het struktureel geweld vervult hij een aggresieve en gewelddadige rol". Dengan perkataan lain, melalui teori kekerasan struktural digunakan peranan agresif dan kekerasan. (http://www.antara.co.id/arc/2007/1).

Kekerasan selalu identik dengan kekuasaan. Orang yang menggunakan kekerasan biasanya mempunyai kekuasaan yang besar. kekuasaan itu tidak hanya dari segi jumlah tapi juga kwalitas atau mutu yang di kandung dari kekuasaan tersebut sangat mempengaruhi dan mendorong terjadinya kekerasan. Tentara, polisi, dan badan intelijen adalah contoh yang mempunyai kekuasaan secara otoritas. Ada kewenangan yang di berikan masyarakat melalui tangan Negara untuk menjalankan sebuah kewenangan di mana kewenangan itu mengandung besar kekuasaan didalamnya dan di lindungi oleh Negara. Dengan "kekerasan struktural" dimaksudkan kekerasan tidak langsung, yang bukan berasal dari orang tertentu, tetapi yang telah terbentuk dalam suatu sistem sosial tertentu. Jadi bila anda berkuasa atau memiliki harta kekayaan berlimpah, maka akan selalu ada kecenderungan untuk melakukan kekerasan, kecuali kalau ada hambatan yang jelas dan tegas. Johan Galtung, seorang kriminolog dari Norwegia dan seorang polemolog, mengatakan hal tersebut bahwa teori kekerasan struktural pada hakekatnya adalah teori kekerasan "sobural". Dengan "sobural" saya maksudkan suatu akronim dari (nilai-nilai) sosial, (aspek) budaya, dan (faktor) struktural (masyarakat). (http://tumasouw.tripod.com/artikel/demokrasi.htm). Jadi wajar sajalah jika dalam melakukan interogasi, kekerasan masih sering di gunakan Karena ternyata kekerasan itu sendiri timbul dan di pengaruhi berbagai faktor .sosial dalam masyarakat, tidak secara otomatis menjadi keinginan integrator itu sendiri. Disamping itu semakin luas ilmu pengetahuan dan teknologi yang di kuasai suatu bangsa akan semakin halus dan efektif kekerasan tersebut di pergunakan sehingga setiap orang akan berlomba-lomba menguasai hal tersebut karena dengan menguasainya akan semakin mudah menjalankan kekerasan itu. Sama halnya dengan interogasi adalah bagian dari kekerasan yang birokratis atau dapa juga di katakan sebagai bagian dari kekerasan institusional (spencer,1966) . Singkat kata penggunaan kekerasan adalah salah satu cara jitu untuk mencapai tujuan, walaupun hasilnya kelak tidak sesuai dengan harapan.

- Faktor-Faktor Pendukung Kekerasan Dalam Interogasi

Berbicara tentang factor-faktor pendukung sehingga terjadi kekerasan dalam interogasi cukup banyak alasan yang dapat di ajukan. walupun sanksi dan aturan kekerasan tersebut sudah sangat ketat di atur tapi masih saja ada terjadi tindak kekerasan dalam dunia kepolisian khususnya masalah proses pemeriksaan yang didahului dan kadang bersamaan dengan teknik interogasi. Jadi selalu timbul imej bahwa kekerasan dalam interogasi sebenarnya masih di butuhkan, buktinya sampai dengan saat ini proses pemeriksaan yang menggunakan kekerasan masih di praktekkan oleh pihak kepolisian dan tidak terlalu mengalami kendala untuk proses selanjutnya. Para tersangka masih juga di sidangkan dan hasil keterangan yang di peroleh melalui pengakuan masih saja menjadi bahan pertimbangan yang kuat untuk hakim memutus suatu perkara. Jadi sebenarnya sistem hukum yang ada di Negara kita ini masih mendukung kekerasan tersebut walaupun aturan itu tersembunyi secara eksplisit didalam pasal 184 KUHAP. “Karena mau gampangnya saja, Cuma mengejar pengakuan si tersangka," Ujar mantan Deputi Operasi (DEOPS) Kapolri Mayjen (Purn) Koesparmono Irsan. Padahal kata Koes, dalam pasal 184 Kuhap di sebutkan selain keterangan tersangka, alat bukti yang sah lainnya adalah keterangan saksi, ahli, surat-surat, dan petunjuk, ’ yang mesti di kejar lebih jauh itu adalah keterangan saksi,” kata Koes. Namun tidak salah juga jika keterangan tersangka itu didapatkan. Jadi benar saja kalau penyidik tidak merasa bersalah menggunakan kekerasan untuk mengejar pengakuan tersangka karena dengan kekerasan seseorang akan terasa di sakiti baik pisik maupun mental sehingga menuruti dan mengiyakan apa kata penyidik di samping penyidik mencari bukti pendukung lainnya.

Selain itu, si penyidik tampaknya hanya mau mengambil "jalan pintas". Sebab, menurut Koes, sesuai dengan prosedurnya, seorang tersangka mesti dibebaskan jika dalam waktu 20 hari penyidik tak bisa menemukan saksi, bukti maupun pengakuan si tersangka. "Biasanya, dalam tempo yang pendek itulah sering
terjadi upaya-upaya menempuh jalan pintas itu," ujar Koes. Sebenarnya, kemungkinan penerapan cara-cara kekerasan dalam proses penyidikan/ interogasi sudah diantisipasi oleh KUHAP. Misalnya, "Dengan menetapkan "keterangan tersangka" pada urutan akhir dari alat bukti yang sah, setelah "keterangan ahli, keterangan saksi, surat-surat dan petunjuk"," kata pakar Hukum Pidana UI, Loebby Loqman. Soalnya, ketika KUHAP belum lahir, penyidik dengan berbagai cara cenderung mengejar pengakuan tersangka lebih dulu, ketimbang alat bukti lain. Antisipasi kedua, kata Loebby, sejak ditangkap, seorang tersangka bisa menghubungi pengacaranya. Sehingga, pada saat diperiksapenyidik, pengacara dapat mendengar dan melihat langsung, agar tak ada tekanan fisik dan psikis terhadap tersangka. Tapi, "Ini yang sering tidak dilakukan," kata Loebby lagi. Penyidik, katanya, malah kerap berkelit di balik kalimat,"Tersangka belum memerlukan pengacara.", "Siapa yang tahu kalau sitersangka benar-benar belumperlupengacara?"ujarnya.(
http://www.hamline.edu/apakabar/basisdata/1996/11/09/0067.html)

Jika kita mencermati apa yang di katakan Koesparmono dan Lubby Lugman mungkin kita dapat berasumsi bahwa kekerasan ini akibat dari struktur hukum itu sendiri yang secara tidak langsung sebenarnya mendukung tindak kekerasan tersebut. Menurut Direktur LBH Jakarta, Luhut Pangaribuan penyebab kekerasan dalam penyidikan lebih merupakan akibat dari sistem moral dan kepribadian aparat yang bersangkutan, yang memproduksi karakter kekerasan. "Itu bukan moralitas individual, melainkan akibat sistem yang kurang sesuai perkembangan zaman," ujarnya. Jadi selagi sistem yang di gunakan masih membuka peluang untuk terjadinya kekerasan maka akan berjalan terus.

III. PENUTUP

- Kesimpulan

· Tehnik yang paling ampuh dalam melakukan interogasi dengan menggunakan kekerasan sebenarnya bukan di lihat dari beratnya penyiksaan tetapi lebih kepada integrator menggunakan kekerasan dengan tidak mengeluarkan energy yang banyak namun dampak yang diteima oleh yang diinterogasi adalah lamanya masa penyiksaan atau kekerasan tersebut.

· kekerasan masih saja terjadi dalam proses interogasi atau dalam proses pemeriksaan seorang tersangka, hal ini terjadi karena semua elemen yang mengatur tentang penggunaan kekerasan masih saja ada ruang/ kesempatan yang di berikan sehingga kekerasan masih bisa berlangsung sampai sekarang.

· masalahnya bukan kepada “mengapa kekerasan perlu diterapkan dalam proses interogasi”, tetapi lebih kepada “mengapa kekerasan masih dilakukan”.

· Seandainya saja semua elemen tidak ada celah untuk melakukan kekerasan maka siapapun yang menggunakan kekerasan semua pasti kena aturan, tidak ada lagi alasan pembenar untuk menggunakan kekerasan dalam bentuk apapun.

- Saran

· perlu pembenahan sistem secara menyeluruh mulai dari tingkat pemegang kekuasaan sampai kepada pelaksananya, agar tidak terjadi penggunaan kekuasaan secara sewenang-wenang.

· untuk menghilangkan tindak kekerasan didalam proses interogasi sebaiknya sistem penggunaan kewenangannya dulu yang harus di tata dengan baik.

· semua tehnik tindakan kekerasan ujungnya pasti rasa sakit yang berakhir dengan kematian atau cacat baik lahir maupun bathin maka hentikan tindakan kekerasan mulai dari diri sendiri.

· Selagi kekuasaan itu masih di perebutkan dengan cara-cara yang tidak wajar (tidak fair) maka kekerasan akan tetap berlangsung.

-----s e l e s a i-----

Komentar

Postingan populer dari blog ini

8 TAHUN

KOPRAL-SERSAN-MAYOR-LETNAN